Dosen UNAIR Gigih Prihantono menilai kesuksesan program B35 dan B40 sangat bergantung pada penguatan infrastruktur pengolahan dan distribusi sawit, serta dukungan strategi pemerintah yang terukur dan kolaborasi lintas sektor.
Arsad Ddin
3 Juni 2025Dosen UNAIR Gigih Prihantono menilai kesuksesan program B35 dan B40 sangat bergantung pada penguatan infrastruktur pengolahan dan distribusi sawit, serta dukungan strategi pemerintah yang terukur dan kolaborasi lintas sektor.
Arsad Ddin
3 Juni 2025Surabaya, HAISAWIT – Dosen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), Gigih Prihantono, menilai program B35 dan B40 akan sukses jika pemerintah menguatkan infrastruktur dan rantai distribusi minyak sawit.
Menurutnya, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur pengolahan dan distribusi yang memadai agar bahan baku sawit bisa dimanfaatkan secara optimal.
Gigih mengulas bahwa pemerintah perlu menyusun strategi terukur dan bekerja keras agar fokus pada produksi biodiesel tidak berhenti di tengah jalan.
“Fokus pada biodiesel saja masih mungkin dicapai, asalkan pemerintah bekerja keras dan menyusun strategi terukur. Penguatan produksi minyak sawit sebagai bahan baku harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur pengolahan dan distribusi. Tanpa hal ini, program B35 atau B40 berisiko tidak berjalan optimal,” ujar Gigih, dikutip dari laman UNAIR, Selasa (03/06/2025).
Dalam pandangannya, penguatan rantai pasok energi sawit harus menjadi perhatian utama agar program tidak menghadapi kendala distribusi yang bisa menghambat realisasi.
Selain itu, Gigih juga menyoroti perlunya dukungan fiskal yang memadai dalam bentuk subsidi dan insentif, meski produksi sawit sebagian besar dikelola oleh sektor swasta.
“Tanpa subsidi, tidak ada beban langsung ke negara karena produksi sawit dikelola swasta. Namun intervensi melalui insentif tentu akan menambah alokasi anggaran,” katanya.
Gigih menambahkan bahwa biodiesel merupakan energi transisi yang penting, tetapi bukan solusi jangka panjang bagi ketahanan energi nasional.
“Biodiesel adalah energi transisi, bukan solusi jangka panjang. Perluasan pemanfaatan bioetanol dan energi terbarukan lainnya akan membuat bauran energi kita lebih tangguh,” ujarnya.
Dalam konteks kebijakan B35 dan B40, program ini memang telah mulai diterapkan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil dengan memaksimalkan potensi minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Namun, Gigih mengingatkan bahwa tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, program ini berisiko tidak berjalan optimal, dan target penggunaan biodiesel yang tinggi sulit tercapai.
Gigih menilai, dukungan pemerintah melalui perencanaan yang matang, pembangunan fasilitas pengolahan, dan jaringan distribusi yang efisien sangat krusial agar program B35 dan B40 dapat berjalan lancar.
Menurutnya, sektor swasta tetap menjadi pelaku utama produksi sawit, sedangkan pemerintah perlu berperan aktif melalui kebijakan insentif dan pengaturan fiskal untuk memastikan keberlanjutan program.
Ia juga mengingatkan, fluktuasi harga sawit di pasar global menjadi tantangan besar, sehingga diversifikasi energi terbarukan harus menjadi bagian dari strategi memperkuat ketahanan energi nasional secara menyeluruh.
Gigih menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi dalam merumuskan strategi energi yang efektif, berkelanjutan, dan mampu mencapai target nasional.***