IBC Menggelar Dialog Kolaboratif dalam Diskusi Meja Bundar: Membuka Kunci Peluang - Memajukan Kepemimpinan Indonesia dalam Minyak Sawit Berkelanjutan di Indonesia Economic Summit (IES) 2025

Salah satu contohnya adalah Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Berdasarkan EUDR, kepatuhan terhadap persyaratan ketertelusuran, pengembangan perkebunan baru yang bebas deforestasi, dan kepatuhan terhadap kewajiban uji tuntas telah menjadi kewajiban. Awalnya dijadwalkan untuk diterapkan pada tahun 2025, peraturan tersebut telah ditunda hingga tahun 2026.

BERITA

HLS Redaksi

19 Februari 2025
Bagikan :

Jakarta (18/2/2025), HAISAWIT  – Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memegang peran strategis dalam rantai pasok global. Industri minyak sawit telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional, yakni sekitar 3,5% dari PDB nasional dan menyediakan mata pencaharian bagi lebih dari 18 juta orang. Namun, industri ini kerap menghadapi tantangan terkait keberlanjutan, khususnya dalam memenuhi permintaan ekspor seiring dengan terus berkembangnya standar global. Salah satu contohnya adalah Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang akan mulai berlaku pada tahun 2026. Berdasarkan EUDR, kepatuhan terhadap persyaratan ketertelusuran, pengembangan perkebunan baru yang bebas deforestasi, dan kepatuhan terhadap kewajiban uji tuntas telah menjadi kewajiban. Awalnya dijadwalkan untuk diterapkan pada tahun 2025, peraturan tersebut telah ditunda hingga tahun 2026.

Namun, penundaan ini seharusnya tidak membuat industri minyak sawit Indonesia memperlambat upayanya dalam menyelaraskan diri dengan standar global, khususnya dalam memberdayakan petani kecil. Khususnya, petani kecil mengelola 40% perkebunan minyak sawit Indonesia, yang menjadikannya bagian penting dari pertumbuhan produksi di masa mendatang melalui peningkatan produktivitas. Pada saat yang sama, mereka juga merupakan pihak yang paling rentan terhadap dampak EUDR. Oleh karena itu, upaya bersama dari semua pemangku kepentingan sangat penting untuk membekali petani kecil menghadapi tantangan ini, termasuk melalui peningkatan kebijakan tata kelola, kerangka peraturan, kemajuan teknologi, pengelolaan data, dan dukungan keuangan.


Jika dipikir-pikir kembali, kelapa sawit bukanlah penyebab terjadinya deforestasi; faktanya, deforestasi telah terjadi puluhan tahun sebelum "booming" kelapa sawit terjadi di Indonesia dan di pasar internasional. Deforestasi terjadi akibat kebijakan konsesi hutan pada tahun 1970-an dan juga kebijakan kebijakan lain yang tidak tepat seperti pembukaan hutan di masa lalu. Sebaliknya, industri kelapa sawit telah berkontribusi besar dalam menyelamatkan lahan-lahan terdegradasi yang telah mengalami praktik praktik kehutanan yang tidak sesuai standar dengan menjadikannya lahan yang produktif.

Oleh karena itu, penerapan EUDR tidak boleh berlaku tidak adil bagi negara-negara penghasil minyak sawit (termasuk Indonesia) apalagi bernuansa "imperialisme regulasi". Dengan kata lain, pemahaman bersama dan pendekatan kebijakan yang lebih berimbang dan kooperatif - baik di dalam Komisi Eropa maupun di Indonesia - sangat penting untuk memastikan bahwa produk minyak sawit Indonesia tetap kompetitif di pasar global, termasuk di dalam Uni Eropa. Hal ini penting untuk keberlanjutan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia.

Berdasarkan eksplorasi ide dan strategi yang dibahas dalam dialog ini, kami percaya bahwa Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk memimpin industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan menyelaraskan peran industri dengan kepentingan ekonomi nasional sekaligus memastikan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai pemimpin yang kompetitif dan bertanggung jawab di sektor kelapa sawit global. Diskusi-diskusi utama ini merupakan bagian dari Dialog Kolaboratif, yang diselenggarakan melalui kemitraan dengan Machine Translated by Google Aliansi Global untuk Planet Berkelanjutan (GASP), Dewan Bisnis Indonesia (IBC), dan Studi Strategis Minyak Sawit Indonesia (IPOSS).

Bagikan :

Artikel Lainnya