Komisi XI DPR RI Soroti Tarif Ekspor Sawit Naik dan Regulasi Rumit Perberat Pelaku Usaha

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fauzi Amro menyoroti kenaikan tarif ekspor sawit dan regulasi yang tumpang tindih, yang berpotensi memperberat beban pelaku usaha dan menghambat ekspor kelapa sawit nasional.

BERITA

Arsad Ddin

22 Mei 2025
Bagikan :

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fauzi Amro dalam rapat bersama mitra kerja pemerintah, Senin (19/5/2025). (Foto : emedia.dpr.go.id/Geraldi/Andri).

Jakarta, HAISAWIT – Komisi XI DPR RI menyoroti kenaikan tarif ekspor kelapa sawit yang dinilai memberatkan pelaku usaha, terutama di sektor UMKM dan industri sawit di Sumatera Selatan. Selain itu, regulasi yang saling tumpang tindih antar kementerian juga menjadi hambatan signifikan dalam proses ekspor sawit. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi Amro, dalam rapat bersama mitra kerja pemerintah, Senin (19/5/2025).

Fauzi mengungkapkan bahwa naiknya tarif pungutan ekspor sawit dari 5 persen menjadi 25 persen oleh BPDPKS semakin memperberat beban pelaku usaha.

Dia juga menyebutkan bahwa regulasi yang tidak sinkron di berbagai kementerian memperlambat operasional Pusat Logistik Berikat (PLB), yang berdampak pada efisiensi ekspor. Kondisi ini berpotensi mengancam kelangsungan usaha di daerah penghasil sawit, khususnya di Sumatera Selatan.

“Kendala utama PLB itu, Pak, setelah kita kunjungi secara spesifik kemarin, khususnya di Sumatera Selatan, memang tumpang tindih terhadap regulasi yang sudah ada. Baik itu di Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Karantina, dan BPDPKS,” ujar Fauzi dalam rapat bersama mitra kerja pemerintah, Senin (19/5/2025), dikutip laman Emedia DPR RI, Kamis (22/05/2025).

Fauzi menambahkan bahwa salah satu contoh regulasi yang menjadi kendala adalah kebijakan Badan Karantina yang mengharuskan produk ekspor mengendap terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan biaya logistik menjadi lebih tinggi dan menambah beban bagi eksportir sawit.

“Contoh konkret misalnya, Badan Karantina itu membuat semua produk yang mau diekspor harus mengendap dulu, atau istilahnya biar ‘pool’ dulu, satu kontainer atau dua kontainer. Ini kan menambah rangkaian biaya yang dikeluarkan oleh eksportir,” lanjut Fauzi.

Selain itu, aturan dari Kementerian Perdagangan yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) juga menambah kompleksitas proses ekspor. Kebijakan ini harus dipenuhi sebelum produk sawit bisa dikirim keluar negeri, sehingga menambah langkah administratif dan potensi hambatan waktu.

Tarif pungutan ekspor yang meningkat signifikan oleh BPDPKS pun mendapat sorotan. Fauzi menilai kenaikan ini tidak hanya membebani pelaku usaha, tapi juga berpotensi memperlambat pergerakan ekspor sawit nasional. Hal ini menjadi masalah serius karena sawit merupakan komoditas strategis bagi perekonomian Indonesia.

“Ini juga jadi problem, Pak, dalam konteks memperlancar niat kita, niat Ibu Menteri Keuangan, yang sudah hampir 9–10 tahun ini menjalankan kebijakan PLB,” katanya.

Fauzi mendorong pemerintah, terutama Kementerian Keuangan dan kementerian terkait lainnya, agar segera melakukan harmonisasi regulasi. Langkah ini dinilai penting untuk menghilangkan tumpang tindih aturan yang saat ini menghambat operasional PLB dan ekspor sawit secara umum.

“Minimal dilakukan harmonisasi di internal kementerian, apakah dalam bentuk peraturan menteri (Permen) atau peraturan menko (Permenko), supaya ekspor yang tertahan dan terhambat tadi tidak berujung pada kerugian lebih besar,” ujarnya.

Dia juga menyampaikan bahwa permasalahan ini tidak hanya terjadi di Sumatera Selatan, melainkan sudah meluas ke beberapa provinsi lain di Indonesia yang menjadi sentra produksi sawit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan usaha dan kesejahteraan pelaku industri sawit.

“Dan kejadian ini saya rasa tidak hanya terjadi di Sumatera Selatan, tapi juga di berbagai provinsi lain di Indonesia,” tutup Fauzi.

Data menunjukkan bahwa beberapa pabrik sawit di Sumatera Selatan sudah mulai tutup karena beban biaya yang meningkat dan proses ekspor yang terhambat. Kondisi ini juga berdampak pada UMKM yang terkait dengan rantai pasok industri sawit.***

Bagikan :

Artikel Lainnya